I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Tebu
(Saccharum officinarum) merupakan
tanaman perkebunan penting sebagai penghasil
gula.Tanaman tebu mengandung gula dengan
kadar mencapai 20%. Dari tanaman ini dapat diproduksi kristal-kristal
gula pasir atau gula merah (Tim Penulis Penebar Swadaya, 2000), sebagai bahan
pangan dan bahan industri.
Konsumsi gula di Indonesia cukup tinggi. Pada
tahun 2010 konsumsi gula di Indonesia
mencapai 4,85 juta ton, meliputi gula
konsumsi 2,7 juta ton dan gula untuk kebutuhan industri 2,15 juta ton. Berdasarkan
Skenario Gula Global tahun 2000, Indonesia merupakan konsumen gula ke delapan
di dunia setelah Pakistan dan Jepang (Anonim, 2011 a).
Luas areal tebu
di Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 473.923 ha yang terdiri dari
280.067 ha perkebunan rakyat, 79.302 ha perkebunanan pemerintah, dan 114.554 ha
perkebunan swasta dengan produksi gula
total sekitar 3.159.836 ton. Dari seluruh areal pertanaman tebu yang ada
sekitar 61% berada di Jawa dan 39% di
luar Jawa. Sebanyak 60% budidaya tebu di Jawa diusahakan di lahan sawah dan 40%
di lahan tegalan atau lahan kering, sedangkan di luar Jawa budidaya tebu
seluruhnya di lahan tegalan (Anonim, 2011 b).
Pada umumnya
budidaya tebu di Indonesia dilakukan secara intensif yang meliputi pengolahan tanah, irigasi,
pengendalian gulma, pemupukan dan pemanenan. Pengolahan tanah sebelum tanam meliputi
pencacahan tunggul, pembajakan, penggaruan, pembuatan alur pemecahan akar dan tempat
pupuk (Raya, 2011). Pengendalian gulma secara kimiawi menggunakan herbisida
sedangkan pengendalian secara mekanik menggunakan alat sederhana seperti koret.
Penerapan
budidaya tanaman intensif untuk mencapai
produksi tinggi diketahui membawa dampak negatif terhadap kondisi fisik dan biologi
tanah. Kenyataan ini mendorong para peneliti untuk mengkaji teknologi budidaya
tanaman yang dapat menjaga produktivitas tetap tinggi tetapi membawa dampak
negatif sekecil mungkin. Penerapan reduksi olah tanah diketahui memberikan
dampak positif. Salah satu teknologi
yang dikembangkan adalah teknologi olah tanah minimum (OTM) dan tanpa olah
tanah (TOT). Studi secara intensif mengenai sistem tanpa olah tanah di
Indonesia di mulai sejak tahun 1980-an (Utomo, 2000).
PT Gunung Madu
Plantations (GMP) menerapkan sistem olah tanah intensif untuk penyiapan lahan
sejak berdirinya perkebunan ini, yaitu pada tahun 1975. Pengolahan tanah adalah
aktivitas memanipulasi kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah. Pengolahan
tanah dengan traktor yang telah berlangsung lama diketahui menyebabkan
pemadatan pada lapisan olah tanah. Kondisi semacam ini bisa berdampak pada
penurunan aktivitas biota tanah serta munculnya
masalah hama dan penyakit tanaman, seperti nematoda parasit tumbuhan.
Komunitas
nematoda meliputi dua kelompok, yaitu
nematoda parasit tumbuhan dan nematoda hidup bebas. Nematoda yang hidup bebas
umumnya mikrobiovora dan bersifat menguntungkan karena berperan dalam
penyehatan tanah. Sebaliknya, nematoda parasit bersifat merugikan karena
berperan sebagai organisme penggangu tanaman (OPT).
Nematoda parasit
tumbuhan memiliki arti penting secara ekonomi karena merusak tanaman. Whitehead
(1998, dalam Oktarino, 2008) menyebutkan sekitar 24 genus nematoda memiliki
anggota atau jenis yang berperan sebagai hama penting tanaman. Dilaporkan bahwa
lebih dari 275 jenis nematoda parasitik tumbuhan berasosiasi dengan tanaman
tebu (Taylor dan Sasser, 1978). Di Indonesia dilaporkan terdapat 11 jenis
nematoda parasit tumbuhan berasosiasi dengan
pertanaman tebu (Spaull dan Caddet, 1995). Empat jenis diketahui sangat
merusak, yaitu Pratylenchus spp, Radopholus, Hirschmanniella, dan Rotylenchulus reniformis (Kalshoven,
1981). Di Australia Pratylenchus khususnya
Pratylenchus zeae dianggap sebagai
nematoda paling penting, populasi 100 individu per 200 gram tanah sebelum tanam
telah dapat menurunkan hasil secara nyata.
Reduksi olah
tanah dan pemulsaan umumnya
dilakukan untuk mengatasi masalah yang
muncul akibat budidaya tanaman olah tanah
intensif. Reduksi olah tanah memiliki keunggulan dalam mempertahankan
kesuburan tanah. Pembalikan dan penggemburan tanah secara alami akan terjadi
pada sistem ini karena aktivitas penetrasi akar, mikroorganisme, dan cacing tanah. Kandungan bahan organik tanah tersebut akan
meningkatkan aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme
menggunakan C-organik sebagai sumber nutrisinya. Pemulsaan pada reduksi olah tanah merupakan sumber C-organik tanah dan
menjadi sumber hara bagi tanaman. Selain itu, pemulsaan berperan menjaga
stabilitas suhu dan kadar air tanah
sehingga cocok bagi biota tanah, termasuk nematoda (Utomo, 2000).
Belum diketahui
apakah tanpa atau reduksi olah tanah dan pemulsaan pada pertanaman tebu
mempengaruhi kelimpahan nematoda parasit tumbuhan. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh reduksi olah
tanah dan pemulsaan terhadap populasi nematoda parasit tumbuhan pada pertanaman
tebu perlu dilakukan.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh reduksi olah tanah dan pemulsaan terhadap kelimpahan nematoda parasit tumbuhan pada pertanaman tebu di PT.
Gunung Madu Plantations.
1.3. Kerangka Pemikiran
Sebagian besar perkebunan tebu masih menerapkan
sistem budidaya tanaman intensif. Olah tanah intensif adalah
pengolahan tanah secara intensif meliputi bagian horizontal dan vertikal tanah
dengan penggunaan alat berat. Sistem budidaya
tanaman intensif meliputi, penanaman
monokultur, pemberian pupuk dan pestisida kimiawi dosis tinggi, penggunaan
tenaga kerja dan energi fosil tinggi serta
pengaturan irigasi (Giller et al.,
1997 dalam Utomo, 1995). Sistem
pertanian intensif dapat menurunkan bioderversitas biota tanah yang mendorong
munculnya masalah hama termasuk nematoda parasit tumbuhan. Olah tanah
intensif juga memberikan dampak negatif
dalam jangka panjang, yaitu kerusakan
lingkungan. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan antara lain terjadinya
peningkatan degradasi lahan akibat erosi pencucian dan pengangkutan hara;
meningkatnya polusi perairan oleh limbah pertanian berupa sedimen, pestisida,
dan pupuk, meningkatnya serangan hama, meningkatnya ketergantungan petani
terhadap input dari luar, dan mengurangi produksi pertanian (Utomo, 1995). Pengolahan tanah intensif dengan tujuan membersihkan gulma
dan menciptakan media tumbuh yang gembur ikut berperan dalam menurunkan
produktivitas lahan dan turunnya produksi terutama untuk tanaman pangan.
Reduksi olah tanah dan pemulsaan yang meningkatkan aktivitas biota tanah
diperkirakan akan dapat menurunkan
populasi nematoda parasit tumbuhan.
Keberadaan mulsa akan berpengaruh positif terhadap keragaman biota
tanah. Tanah yang tidak terusik, dan bahan organik yang melimpah selain sebagai
nutrisi bagi mikroba perombak, juga
menjaga stabilitas kondisi iklim mikro tanah sehingga cocok bagi kehidupan
biota tanah yang meliputi biota antagonis
terhadap nematoda parasit tumbuhan. Menurut Utomo (2000), pada reduksi olah
tanah, keragaman biota tanah lebih tinggi daripada olah tanah intensif.
Munculnya masalah hama termasuk nematoda parasit tumbuhan, disebabkan oleh
kondisi yang tidak stabil. Keragaman biota yang rendah mendorong terjadinya
dominasi salah satu spesies yang kemudian
menjadi hama. Reduksi olah tanah dengan
pemulsaan akan meningkatkan aktivitas nematoda non- parasit tumbuhan. Aktivitas
nematoda non- parasit tumbuhan akan
meningkat karena kelimpahan mikroba perombak bahan organik yang tumbuh
dengan kondisi iklim mikro yang cocok.
Mikroba perombak bahan organik merupakan makanan nematoda non parasit
tumbuhan. Aktivitas nematoda non-parasit yang tinggi dapat menyebabkan nematoda parasit tumbuhan tidak
dominan dan populasinya rendah sehingga tidak menjadi hama.
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah penerapan
sistem reduksi olah tanah dan pemulsaan dapat menurunkan kelimpahan nematoda
parasit tumbuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar